Kesan berantakan
dan “semau gue” seakan lekat dengan wartawan cetak, sedangkan rapi dan good looking, pasti wartawan televisi. Yakin pendapat dan asosiasi kita selama ini bener?
“Salah! Jurnalis
cetak harus selalu berpenampilan rapi, karena yang ditemui juga pejabat dan
orang-orang terhormat,” jawab Pahit S. Narottama, Wapimred Kalteng Pos, atas
pertanyaan ini. “Masa kita mau ketemu bupati lah, atau setidaknya kepala dinas
kabupaten aja, pake pakaian urakan. Berarti
kita tidak menghargai narasumber. Belum lagi ketika tiba-tiba kita harus ketemu
gubernur, pake pakaian seenaknya. Kasihan jurnalisnya. Kalo penampilan kita
rapi, narasumber juga segan kan. Waktu ada kesempatan foto bareng kan enak juga
dilihat,” lanjutnya bijak.
Well, memang begitulah kenyataannya.
Kadang kita mikirnya ngapain wartawan cetak rapi, kan nggak kelihatan. Namun
faktanya, mereka juga perlu rapi layaknya jurnalis televisi, begitupun jurnalis
media lainnya. Rapi nggak harus hanya di televisi, tapi bertemu naasumber pun
juga. Ingat, berita menarik yang dapat diliput wartawan, bisa terjadi sewaktu-waktu.
Lalu, benarkah anggapan
bahwa jurnalis televisi lebih prestis daripada jurnalis media lainnya? “Tidak juga,
semua bergantung dan kembali kepada pribadi sang jurnalis untuk mengeksplor
kemampuan pribadinya, untuk merangkul bahkan menguasai publiknya. Banyak kok
jurnalis TV yang tidak dikenal dan tidak terkenal karena kemampuannya yang
biasa2 saja, begitu juga jurnalis cetak. Tapi tidak sedikit jurnalis cetak yang
justru sangat eksis, di antaranya Rosihan Anwar, Dahlan Iskan, Yakob Utama, dan
Surya Paloh,” jelas pria yang telah berkecipung dalam kejurnalistikan selama 17
tahun ini.
Dalam hal ini,
jurnalis televisi pun berpendapat tak jauh beda. “Tergantung pribadinya masing2
lebih wah atau nggak. Sekarang gini, itu sebuah anugerah sendiri, atau sebuah
apresiasi sendiri ketika satu orang itu sekalipun dia jurnalis cetak sekalipun
dia tidak tampil, tapi tulisannya, karyanya sangat bagus dan dikenang oleh
masyarakat. Banyak sekali wartawan yang seperti itu. Dan mereka punya kemampuan
menulis, mereka lebih analisis,” ujar Jonathan.
Perbedaan antara
jurnalis televisi dan cetak pun juga ada beberapa hal menurut mereka, selain
soal analisis dan eksistensi para jurnalisnya.
“Kalau jurnalis cetak, kita
deadline-nya paling lambat kalau di Deteksi jam 6 sore harus nyampe ke editor.
Kalau jurnalistik TV, harus nyampe setengah jam sebelum tayang. Setahuku sih
gitu, beritanya harus bener-bener update,”
jawab Tammi, jurnalis Deteksi Jawa Pos yang berkerudung ini.
Lain dengan
jawaban pria berusia 42 tahun ini, “Jurnalis TV (khususnya didukung oleh
kamerawan) harus bisa mengakomodir semua potensi sumber visual (angle dan pencahayaan), untuk memberikan
visual yang mendukung liputan yang dilakukan reporter. Sedangkan jurnalis non
TV, lebih diutamakan pada kemapuan membuat berita.
So, mau pilih mana? Jadi jurnalis
televisi atau jurnalis cetak?
0 comments:
Post a Comment