RSS

[Reportase] Wartawan Kerja bagai Buruh?



Wartawan itu pekerjaan yang menyita banyak waktu, tapi memberi banyak pengalaman. Lalu mengapa ada wartawan yang memutuskan untuk resign dari tempat kerjanya?
Seperti yang diceritakan oleh Erichson, dia baru saja resign dari tempatnya bekerja. Saat ini, ia telah menjadi ex-jurnalis di media cetak harian Sindo.
Saat ditanya mengenai alasannya resign, dia menjawab, “Lagi jenuh, pengen cari yang lebih baik. Sebenernya aku capek juga sih kerja enam kali seminggu. Otak nggak bisa berhenti mikir.” Lanjutnya, “(Libur) Sabtu. Minggu masuk sore. Ya jam kerja si fleksibel tapi tetep aja gimana gitu. Udah resiko sih.”
Mendengar ceritanya, saya merasa kasihan tapi juga sedikit iri. Kasihan karena miris ternyata wartawan kerjanya sangat melelahkan tetapi sedikit libur demi tuntutan pekerjaan. Di balik itu, saya juga merasa iri karena dia pernah jalan-jalan ke Malaysia dan Singapura karena profesinya tersebut.
Mengenai kontrak dan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh seorang wartawan, dia sepertinya termasuk beruntung. “Kalo perusahaan media yang jelas ya kontrak pasti jelas. Maksudnya media yang udah punya nama. Aku begitu setahun udah langsung diangkat (jadi pegawai tetap). Tapi memang tergantung performa,” ungkapnya. “Ada jamsostek, ada pensiunan, ada asuransi jiwa kok. Tergantung media,” lanjut pria berusia 27 tahun ini.
Lalu, dari perspektif Eric yang telah malang melintang di dunia jurnalistik selama dua setengah tahun ini, bagaimana pendapatnya mengenai jurnalis itu juga buruh?
“Tapi kalo menurut aku sih iyalah wartawan buruh emang. Jurnalis di Indonesia itu kayak nggak layak penghasilannya. Coba bandingkan di Amerika. Beuh..,” ujarnya dengan lugas.
Yup, nggak semua media “menghargai” jurnalisnya dengan layak. Banyak jurnalis yang memiliki pendapatan di bawah UMR/UMP tempatnya bekerja. Hal serupa pun dinyatakan Eric, “Tapi emang pada umumnya banyak perusahaan media yang menggaji pekerjanya kurang layak. Makanya, AJI/PWI selalu mengeluarkan ‘gaji layak wartawan’ gitu kan.”
UMP dan Upah Layak AJI
Memang Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) memberikan standar upah layak untuk jurnalis, agar jurnalis tidak diperlakukan sewenang-wenang, apalagi lebih rendah daripada buruh.
Well, wartawan seharusnya memang diperlakukan lebih layak daripada buruh kan?

[Opini] Wartawan = Buruh?



Wartawan = buruh? Mungkin dalam benak kita bakal muncul pertanyaan, “Eww..kok buruh sih?”. Atau mungkin kalo yang wartawan, bakal menolak dengan bilang, “Enak aja! Wartawan itu profesi, Bro, Lebih keren daripada buruh!” Eits, sebelumnya, baca dulu deh kenapa saya membuat judul seperti itu.

Bromo: Alam Indonesia dengan Atmosfer Luar Negeri


Bromo



"Mau ke Bromo nggak?” tiba-tiba, temanku, Brigita bertanya padaku. “Ayo! Kalo mau, sama aku, sama Shabrina, ntar juga ada mas Iam. Ntar dia ngajak temennya juga buat gantian nyetir,” bujuknya.
Yeay! Akhirnya kami memang ke Bromo berlima: aku, Brigita, Shabrina, mas Iam, dan mas Imron. Berhubung kami newbie dalam hal travelling ke gunung, kami banyak bertanya pada mas Iam dan mas Imron (temannya), yang sering melanglang buana.
Dari Surabaya ke Bromo, nggak terlalu lama (menurutku), hanya 3-4 jam saja. Kami berangkat jam 12 malam dengan mobil dan sampai di sana jam setengah 4 pagi. Yah berhubung saya buta peta, nggak usah dibahas yah lewat mana, intinya sih ke Probolinggo terus ke Bromo. Hehehe..^^
Waktu di desa sebelum Bromo, kami melewati tempat persewaan jeep yang masih jauh dari Bromo. Di sana, kami diminta berhenti dan menyewa jeep. Tapi mending tolak sebisa mungkin. Di atas sana masih ada yang nyewain, bisa lebih murah harusnya. Jadi naik mobil pribadi aja sampe di tempat persewaan jeep berikutnya.

[UTS Feature] Jurnalis Televisi vs Jurnalis Cetak


Kesan berantakan dan “semau gue” seakan lekat dengan wartawan cetak, sedangkan rapi dan good looking, pasti wartawan televisi. Yakin pendapat dan asosiasi kita selama ini bener?

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 4



Di saat wartawan kontributor harus berjuang sendiri untuk memperoleh berita, lain halnya dengan wartawan organik. Selain menyediakan kendaraan beserta supir saat bertugas, ternyata mereka juga diberikan fasilitas-fasilitas lain.
Seperti yang tadi dijelaskan, fisik seorang presenter atau reporter dituntut untuk bisa selalu tampil good looking di kamera. Padahal, saat bertugas di lapangan, reporter banyak diterpa debu dan panas yang membuat penampilan kurang menarik. Maka, hal itu harus disiasati dengan melakukan perawatan di klinik kecantikan atau salon.
“Kalau di tempat saya, kami sudah disediakan voucher untuk perawatan untuk di sebuah klinik kecantikan. Nah ini biasanya untuk TV-TV yang lain juga biasanya memberikan sebuah fasilitas gratis gym untuk menambahkan performa mereka agar mereka sehat, selain perawatan secara fisik ya secara muka mereka agar ya karena memang tidak menampik ketika di TV yang dilihat pertama adalah muka. Nah, di situ mereka harus menjaga dan merawat,” ungkap Jonathan, reporter televisi.
Dengan kata lain, para presenter dan reporter yang tampil di televisi memang telah disiapkan untuk selalu tampak good looking di kamera. Selain menuai ketenaran di mata masyarakat, jurnalis televisi ini juga mendapat perawatan gratis dan cuma-cuma.
Wow, kok jadi semacam enak gitu ya hidupya? Mau donk kalau gitu, jadi jurnalis televisi :3

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 3


Tampil di depan TV dan jalan-jalan, mungkin menjadi pikiran pertama yang terlintas saat mendengar kata jurnalis televisi. Padahal, faktanya tak seperti itu. Dalam hal ini, tak semua yang membawakan berita di layar kaca disebut jurnalis televisi. Jurnalis televisi dibagi menjadi dua, yakni jurnalis (wartawan) kontributor dan jurnalis organik.
Wartawan kontributor biasanya tiap 1 kabupaten / kota ada 1 kontributor ditempatkan. Dia bertugas dengan kendaraannya pribadi, mengambil gambar dengan handycam, membuat naskah sendiri, dan dikirim ke server pusat untuk diolah beritanya. Kemudian dia baru mendapat upah dari setiap berita yang berhasil ditayangkan.
Sedangkan wartawan organik, ditugaskan oleh koordinator liputan untuk meliput berita tertentu. Dia diberi fasilitas menggunakan mobil beserta satu driver dan seorang cameraman. Di sana, ia memikirkan cara mengolah, mengambil data, dan mengeksplor peristiwa yang ditugaskan tadi. Materi gambar nantinya diberikan oleh cameramen dengan melalui pengarahan atau permintaan dari wartawan ini.
Selain itu, ada pula pembawa berita yang hanya membacakan berita yang telah dicari oleh jurnalis. Dia tidak diwajibkan untuk mencari berita yang akan disiarkan di televisi. Pantas saja Fajrin, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair merasa ironi dengan jurnalis televisi. “Realitanya mereka itu secara ketenaran mereka juga nggak tenar, secara apresiasi karya mereka juga nggak terlalu dapet gitu lho. Orang lebih kenal sama presenter daripada jurnalisnya,” ucap Fajrin prihatin.
“Kalo kita lihat mungkin kasihan karena istilahnya presenter itu cuma modal muka, modal tampang aja mereka uda bayaran lebih dari jurnalis sendiri yang istilahnya mereka berkorban fisik, berkorban otak, sampe2 kalo misalnya dalam situasi perang mereka bisa2 korban taruhan sama nyawanya,” lanjut pria berkacamata ini. Sejak awal, dia memang membedakan antara pembawa berita dengan reporternya.
Di saat jurnalis berjuang mencari berita, si pembawa acara hanya menunggu untuk membacakan berita. Istilahnya, jurnalis yang nggak tersorot itu jadi invisible, nggak ada bau-baunya. Bahkan Gita Gowinda, presenter salah satu TV swasta mengiyakan statement ini.
Jika dipikirkan lagi, memang sepertinya dari segi ketenaran, jurnalis yang tak beruntung  tak bisa lebih dikenal masyarakat selayaknya news anchor. Pembawa berita lebih terlihat glamor dan sejahtera daripada jurnalis yang benar-benar mencari berita di belakang layar.

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 2


“Kalau nggak berparas good looking nggak boleh live,” ujar Luviana, mantan jurnalis TV swasta pada screening dokumenter di Universitas Airlangga (27/3). Benarkah demikian?
Sepertinya begitulah adanya. Pada lowongan pekerjaan sebagai jurnalis televisi yang tampil di layar kaca, selalu terdapat “berpenampilan menarik” sebagai syarat utama. Tapi mengapa good looking menjadi hal penting?
“Jurnalis TV selain harus memiliki kemampuan mengulas fokus beritanya, juga tentu akan lebih baik yang good looking supaya orang doyan berlama-lama ngikutin beritanya. Good looking itu penting tapi bukan segala-galanya,” ujar Pahit S. Narottama, selaku Wakil Pimpinan Redaksi surat kabar harian Kalteng Pos.
Hal serupa juga diceploskan oleh Tammi, jurnalis Deteksi Jawa Pos. “Soalnya TV itu kan audio visual, harus ada nilai jual tersendiri untuk bikin penonton stay tune sama berita itu. Aku sendiri, kalo reporternya nggak oke-oke banget gitu males liatnya. Hahaha… Itu menurutku pribadi sih mbak. Kalo orang lain mungkin yang nggak harus good looking nggak apa-apa, asal dia pinter. Kalo menurutku kudu (harus) dua-duanya, good looking dan juga pinter nyampein berita. Kalo good looking  tapi ‘aa…ee…aa…ee..’ pas nyampein berita ya tetep males diliatnya.”
Ya, good looking itu penting namun tetap harus cerdas dan berpengetahuan luas. Jika tidak memiliki kedua hal tersebut, tentunya sang jurnalis akan mempermalukan dirinya sendiri karena hal tersebut akan nampak di televisi.
“Saya harus menggali banyak ilmu, saya harus belajar banyak buku, referensi. Ketika dialog saya harus membawakan topik2 yg sebenarnya saya tidak mengerti. Saya harus tahu setidaknya dan mengerti dasar2 dari materi apa yang akan saya bawakan dalam dialog tersebut,” ungkap Jonathan, selaku jurnalis televisi di Metro TV.
Intinya, jurnalis televisi haruslah memiliki paket komplit. Dia memiliki perawakan yang bagus dan menarik, serta pengetahuan yang luas. Tentunya hal tersebut akan membutuhkan usaha ekstra bagi mereka yang ingin menjadi jurnalis televisi.
So, masih menganggap jurnalis televisi hanya mengandalkan tampang?

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 1



Jonathan saat Live Report
 Sebagaimana yang kita tahu, jurnalis televisi merupakan sosok yang sering muncul di di layar kaca untuk menyampaikan berita terkini. Namun, jurnalis televisi memiliki dunia gemerlap yang tak diketahui oleh masyarakat umumnya. Bukan, bukan dunia gemerlap alias dugem yang dimaksud. Juga bukan tentang jurnalis televisi yang suka dugem. Ini adalah dunia gemerlap dari perspektif yang lain.
Jonathan Pratama menjadi jurnalis salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia sejak April 2012. Meski terbilang baru setahun bekerja di sana, dia telah menimba banyak ilmu dan pengalaman. Mulai dari reporter yang meliput berita di tempat kejadian, menjadi news achor (pembawa berita), hingga menjadi reporter wisata.
Menurutnya, menjadi jurnalis televisi adalah suatu hal yang menyenangkan. “Ya saya suka bertemu dengan masyarakat langsung, saya bisa ngobrol langsung, kemudian saya bisa lebih dekat dengan mereka,” ungkapnya.
Selain itu, dalam pembuatan naskah jurnalistik televisi tidak boleh terlalu panjang, hanya sepanjang 2-3 menit untuk tiap berita. Hal inilah yang disukai oleh pria berumur 23 tahun ini, “Saya kurang cakap dalam menulis, tapi saya suka pada jurnalis televisi karena naskahnya hanya inti-intinya saja.”
Pria yang akrab disapa Jo ini, memiliki pengalaman tak terlupakan saat masih baru menjajaki dunia jurnalis televisi. Yaitu saat meliput penangkapan terduga teroris di Madiun. “Waktu itu saya belum siap untuk berangkat ke Madiun, saya juga masih baru saya sudah dihadapkan dengan kondisi yang menurut saya cukup seram. Di situ saya bisa mendapatkan banyak hal dan belajar ketika harus di rumah terduga teroris dengan ancaman2, ketakutan, kemudian bisa aja ada ranjau dimana2. Disitulah itu menjadi tantangan buat saya tapi sangat meyenangkan,” kisahnya sambil mengenang masa awal-awal bekerja.
Tak sampai di situ saja pengalaman yang didapatkan oleh Jo. Pada peristiwa jatuhnya Lion Air di Bali beberpa waktu lalu, dia ikut terbang meliput ke pulau Dewata tesebut. “Itu sangat menarik, ada orang baru, pejabat-pejabat di Bali, kenalan dengan wartawan-wartawan yang ada di Bali, tahu tempat-tempat yang ada di Bali. Dan pengalaman me-livereport-kan dari tempat yang… dari Bali, itulah sungguh menyenangkan.” Dengan menjadi jurnalis televisi, Jo dapat ikut ambil bagian keluar kota sekaligus jalan-jalan sebentar.
Hm…tampaknya, menjadi jurnalis televisi memang menyenangkan ya?