Tampil di depan
TV dan jalan-jalan, mungkin menjadi pikiran pertama yang terlintas saat
mendengar kata jurnalis televisi. Padahal, faktanya tak seperti itu. Dalam hal
ini, tak semua yang membawakan berita di layar kaca disebut jurnalis televisi. Jurnalis
televisi dibagi menjadi dua, yakni jurnalis (wartawan) kontributor dan jurnalis
organik.
Wartawan
kontributor biasanya tiap 1 kabupaten / kota ada 1 kontributor ditempatkan. Dia
bertugas dengan kendaraannya pribadi, mengambil gambar dengan handycam, membuat
naskah sendiri, dan dikirim ke server pusat untuk diolah beritanya. Kemudian dia
baru mendapat upah dari setiap berita yang berhasil ditayangkan.
Sedangkan
wartawan organik, ditugaskan oleh koordinator liputan untuk meliput berita
tertentu. Dia diberi fasilitas menggunakan mobil beserta satu driver dan seorang cameraman. Di sana, ia memikirkan cara mengolah, mengambil data,
dan mengeksplor peristiwa yang ditugaskan tadi. Materi gambar nantinya
diberikan oleh cameramen dengan melalui pengarahan atau permintaan dari
wartawan ini.
Selain itu, ada
pula pembawa berita yang hanya membacakan berita yang telah dicari oleh
jurnalis. Dia tidak diwajibkan untuk mencari berita yang akan disiarkan di
televisi. Pantas saja Fajrin, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair merasa ironi
dengan jurnalis televisi. “Realitanya mereka itu secara ketenaran mereka juga
nggak tenar, secara apresiasi karya mereka juga nggak terlalu dapet gitu lho. Orang
lebih kenal sama presenter daripada jurnalisnya,” ucap Fajrin prihatin.
“Kalo kita lihat
mungkin kasihan karena istilahnya presenter itu cuma modal muka, modal tampang
aja mereka uda bayaran lebih dari jurnalis sendiri yang istilahnya mereka
berkorban fisik, berkorban otak, sampe2 kalo misalnya dalam situasi perang mereka
bisa2 korban taruhan sama nyawanya,” lanjut pria berkacamata ini. Sejak awal, dia
memang membedakan antara pembawa berita dengan reporternya.
Di saat jurnalis
berjuang mencari berita, si pembawa acara hanya menunggu untuk membacakan berita.
Istilahnya, jurnalis yang nggak tersorot itu jadi invisible, nggak ada bau-baunya. Bahkan Gita Gowinda, presenter salah
satu TV swasta mengiyakan statement ini.
Jika dipikirkan
lagi, memang sepertinya dari segi ketenaran, jurnalis yang tak beruntung tak bisa lebih dikenal masyarakat selayaknya news anchor. Pembawa berita lebih
terlihat glamor dan sejahtera daripada jurnalis yang benar-benar mencari berita
di belakang layar.
Photo by: Prima Kirtti Utomo Yusuf
0 comments:
Post a Comment