RSS

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 3


Tampil di depan TV dan jalan-jalan, mungkin menjadi pikiran pertama yang terlintas saat mendengar kata jurnalis televisi. Padahal, faktanya tak seperti itu. Dalam hal ini, tak semua yang membawakan berita di layar kaca disebut jurnalis televisi. Jurnalis televisi dibagi menjadi dua, yakni jurnalis (wartawan) kontributor dan jurnalis organik.
Wartawan kontributor biasanya tiap 1 kabupaten / kota ada 1 kontributor ditempatkan. Dia bertugas dengan kendaraannya pribadi, mengambil gambar dengan handycam, membuat naskah sendiri, dan dikirim ke server pusat untuk diolah beritanya. Kemudian dia baru mendapat upah dari setiap berita yang berhasil ditayangkan.
Sedangkan wartawan organik, ditugaskan oleh koordinator liputan untuk meliput berita tertentu. Dia diberi fasilitas menggunakan mobil beserta satu driver dan seorang cameraman. Di sana, ia memikirkan cara mengolah, mengambil data, dan mengeksplor peristiwa yang ditugaskan tadi. Materi gambar nantinya diberikan oleh cameramen dengan melalui pengarahan atau permintaan dari wartawan ini.
Selain itu, ada pula pembawa berita yang hanya membacakan berita yang telah dicari oleh jurnalis. Dia tidak diwajibkan untuk mencari berita yang akan disiarkan di televisi. Pantas saja Fajrin, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair merasa ironi dengan jurnalis televisi. “Realitanya mereka itu secara ketenaran mereka juga nggak tenar, secara apresiasi karya mereka juga nggak terlalu dapet gitu lho. Orang lebih kenal sama presenter daripada jurnalisnya,” ucap Fajrin prihatin.
“Kalo kita lihat mungkin kasihan karena istilahnya presenter itu cuma modal muka, modal tampang aja mereka uda bayaran lebih dari jurnalis sendiri yang istilahnya mereka berkorban fisik, berkorban otak, sampe2 kalo misalnya dalam situasi perang mereka bisa2 korban taruhan sama nyawanya,” lanjut pria berkacamata ini. Sejak awal, dia memang membedakan antara pembawa berita dengan reporternya.
Di saat jurnalis berjuang mencari berita, si pembawa acara hanya menunggu untuk membacakan berita. Istilahnya, jurnalis yang nggak tersorot itu jadi invisible, nggak ada bau-baunya. Bahkan Gita Gowinda, presenter salah satu TV swasta mengiyakan statement ini.
Jika dipikirkan lagi, memang sepertinya dari segi ketenaran, jurnalis yang tak beruntung  tak bisa lebih dikenal masyarakat selayaknya news anchor. Pembawa berita lebih terlihat glamor dan sejahtera daripada jurnalis yang benar-benar mencari berita di belakang layar.

0 comments:

Post a Comment