RSS

[Review Film] Di Balik Frekuensi, Cerita di Balik Media


Judul           : Di Balik Frekuensi
Durasi          : 144 menit 27 detik
Genre          : Dokumenter
Sutradara    : Ucu Agustin
Tahun Rilis : 2013

Awalnya, saya pikir film ini bakal banyak bercerita tentang frekuensi publik yang digunakan media-media dalm mentransmisikan informasi. Ternyata nggak seperti dugaan sih, tapi film dokumenter ini cukup bagus dalam mengungkap apa yang terjadi di balik media televisi sebenarnya. Hm... harusnya mungkin judulnya Di Balik Media Televisi ya? Hehehe.. (jayus). Anyway, Di Balik Frekuensi menyorot tentang konglomerasi media dan kesewenang-wenangannya demi kepentingan pribadi pemiliknya.
Film dimulai dengan prolog yang menyuguhkan adanya konglomerasi media. Potongan-potongan adegan mengenai keberpihakan media terhadap para pemiliknya, dimunculkan. Salah satu contohnya, saat para pemain Opera Van Java (OVJ) Trans7 memberi salam pada istri Chairul Tanjung, pemilik Transcorporation. Lalu, iklan-iklan partai politik (parpol) yang banyak bermunculan di media, seperti iklan Nasional Demokrat yang munculnya mencapai ratusan dalam RCTI dan Global TV pada tahun 2012. Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena Haritanoe Sudibyo sebagai pemilik media, merupakan ketua parpol tersebut saat itu.
Kemudian inti film beralih pada Luviana, reporter Metro TV yang telah mengabdi selama sepuluh tahun. Dia bahkan menjabat menjadi asisten produser sebuah acara di situ. Anehnya, meskipun demikian, kenyataannya dia bekerja layaknya produser daripada asisten produser. Konflik mulai muncul saat Luvi —panggilannya— mulai mempertanyakan jabatan dan gaji yang seharusnya ia peroleh kepada manajemen Metro TV.
Setelah sekian lama hanya dijanjikan akan dibuatkan surat keterangan pekerjaan, Luvi merasakan ketidakadilan. Dia malah dipindahtugaskan dari bagian news ke HRD, bahkan sempat dilarang absen dan memasuki news room. Luvi yang tidak mendapat kejelasan, lalu bersama teman-teman serikat pekerja dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengadakan demo pada Metro TV agar Luvi dapat bekerja kembali. Seketika, masalah-masalah lain bermunculan dan konflik antara Luvi dan Metro TV kian meruncing.
Di sisi lain, ditayangkan pula perjuangan Hadi Suwandi yang berjalan kaki dari Porong Sidoarjo ke Jakarta demi menuntut haknya dan warga korban lumpur Lapindo. Hadi didampingi seorang temannya selama perjalanan, bahkan sempat menolak dan memarahi reporter TV One. Hal ini karena TV One menyatakan bahwa Hadi bukanlah warga Sidoarjo yang sengaja mencari sensasi. Ending yang sangat memilukan bagi Hadi, apalagi kalau bukan karena campur tangan pemilik media yang sekaligus pengusaha PT Lapindo.
Prolog ditayangkan dengan pernyataan bahwa adanya keberpihakan media terhadap kepentingan pemilik media yang notabenenya politisi. Dari keseluruhan 1248 radio, 1706 media cetak, dan 76 stasiun TV, ternyata hanya dikuasai oleh 12 orang. Dengan begitu, media tidak lagi objektif dalam menyampaikan berita, bahkan menghalangi kebebasan pembentukan serikat pekerja.
Di Balik Frekuensi menyadarkan kita, bahwa nggak selamanya bekerja di media itu menyenangkan. Nggak selamanya jadi jurnalis itu keren dan terkenal. Nggak selamanya juga berita yang disampaikan media 100% benar. Menjadi berbeda itu biasa tapi juga berbahaya, seperti yang dilakukan Luvi dan Hadi.

Meskipun
                                "in media we trust"  – anynomous

tapi                                          

Nggak semua yang lo liat itu bener”
– slogan  iklan permen –

Tanpa KTM, Tak Boleh ke Perpustakaan?




“Sebel! Masa tadi aku ke perpus nggak boleh masuk coba? Terus aku kalo mau pinjem buku buat skripsi gimana?” omel Cindy, mahasiswa Komunikasi Unair 2010. Apa yang terjadi dengan perpustakaan kampus B Universitas Airlangga?
Ternyata, sejak bulan Februari lalu telah diberlakukan peraturan: hanya boleh masuk menggunakan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa)-nya sendiri. Selain itu, ada pula aturan baru yang mengagetkan: tas harus dititipkan meskipun hanya masuk ke wifi zone. Padahal sebelummya, jika hanya ke wifi zone, pengunjung tidak perlu menitipkan tasnya. Mengapa aturan-aturan itu diberlakukan?
“Aturan itu diadakan supaya lebih tertib dan nyaman,” aku petugas informasi yang tidak saya ketahui namanya. Hm..benarkah demikian? Jika ditanyakan pada salah satu mahasiswa yang tidak mau disebutkan namanya, dia menjawab, “Bikin males ke perpus. Masa butuh ke perpus gak boleh? Ini kan buat ngerjain tugas. Lagipula KTMku dibuat pinjem buku di KPS (Kantor Program Studi). Padahal dulu (masuk perpus) masih boleh pake NIM.”
Menanggapi gerutuan mahasiswa tersebut, bagaimana solusi yang ditawarkan perpustakaan? Wanita bagian informasi menimpali, “Bukan ditutup untuk umum. Dari universitas negeri (atau PTN) kan bisa menggunakan kartu sakti, sedangkan dari universitas swasta (PTS) bisa melakukan registrasi seharga 5000 Rupiah per hari.” Lalu bagi mahasiswa Unair yang KTM-nya sedang digunakan untuk meminjam buku di fakultas atau prodi, diberi solusi untuk menunjukkan fotocopy KRS (Kartu Rencana Studi) atau KRS (Kartu Rencana Studi).
sensor KTM dan gate masuk
Nah, apakah dengan berlakunya peraturan tersebut, mahasiswa memang semakin malas untuk mengunjungi perpustakaan? Atau malah sebenarnya solusi yang ditawarkan telah cukup memudahkan?

Fajrin, Kahima yang Aktif IMIKI



“Kahima (Ketua Himpunan Mahasiswa) kita yang baru lho mau ikut IMIKI,” ujar mantan Kahima Komunikasi Universitas Airlangga (Unair). “Hah? IMIKI? Apaan itu?” tanyaku. Nah, karena penasaran, aku pun bertanya pada sang Kahima baru yang angkatan 2011 tersebut.
Fajrin Mahendra Bakti, itulah nama lengkapnya, terpilih sebagai kahima Komunikasi Unair pada 13 Maret lalu. Menang dengan selisih satu suara dari cakahima (calon kahima) yang satu angkatan di atasnya. Sebelum terpilih sebagai Kahima, Fajrin — panggilannya — memang sudah aktif mengikuti organisasi lain, salah satunya IMIKI.
IMIKI adalah Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia, menjadi wadah bagi mahasiswa komunikasi yang ingin berorganisasi sekaligus memahami hal-hal berkaitan dengan profesi dan praktek komunikasi. Tanggal 21-23 Maret 2013, seluruh pengurus perwakilan dari masing-masing wilayah akan mengadakan rapat kerja nasional (rakernas).
Dalam rakernas IMIKI nanti, Fajrin mewakili wilayah IV (Jatim, Bali, dan Nusa Tenggara), untuk menyampaikan program kerja (proker) yang telah disepakati dalam pra-raker. Rakernas membahas berbagai bidang komunikasi, seperti pengabdian masyarakat dan literasi media. Diadakannya rakernas bertujuan agar wilayah I sampai V yang ada di Indonesia ini dapat mengetahui proker yang akan dijalankan satu setengah tahun ke depan.
Jam 2 siang nanti (21/3), Fajrin akan berangkat ke UPN Jakarta untuk mengikuti Rakernas tersebut. Di sana, Fajrin ingin memperjuangkan proker wilayah IV. “Contohnya, agar ada pembentukan cabang baru untuk wilayah empat untuk karesidenan Madiun. Karena kan secara geografis agak jauh. Di sana juga komunikasi nggak sepopuler Malang dan Surabaya. Jadi biar Komunikasi nggak dipandang sebelah mata juga,” ujar Fajrin.

[Sinopsis Buku] Hush-Hush, Bacaan di Kala Penat


 

 Judul             :  Hush, Hush

Penulis           :  Becca Fitzpatrick

Penerjemah :  Leinovar Bahfein

Penerbit         :  PT. Ufuk Pubishing House

Kategori        :  Novel Fantasy

Ukuran           :  14×21 cm

Tebal              :  488 halaman

 


Salahkan Becca Fitzpatrick yang telah membuat saya sering berimajinasi tentang malaikat-malaikat terbuang. “Hush, Hush”, meski judulnya masih agak lucu di  telinga  mata kita, namun justru membuat penasaran dengan isinya (setidaknya itulah yang saya rasakan).
Bagian prolog buku ini mungkin akan membuat pembaca bingung karena kisahnya berbeda dengan yang ditampilkan di resensi belakang novel. Apalagi diawali dengan munculnya seorang Nephilim —ras keturunan malaikat terbuang dengan manusia— yang dipaksa oleh malaikat terbuang untuk mengucapkan sumpah sebagai budaknya. Namun tentunya somehow prolog akan terhubung dengan kisah Nora.
Nora Grey adalah siswi SMA yang meskipun cantik tapi sangat pendiam dan tipe cewek rumahan. Dia tidak pernah menginginkan hal yang neko-neko, berbalik 180ยบ dari Vee, sahabatnya. Vee sangat ceria dan suka melakukan hal-hal menantang. Seluruh kehidupan Nora berubah total saat bertemu dengan Patch. Berawal dari kelas Biologi yang menuntut Nora harus mengenal Patch si bad boy misterius yang selalu ada saat Nora butuhkan.
Kemudian, misteri kemunculan Elliot dan Jules. Meski terkesan cowok baik-baik, kepindahan Elliot dari sekolah elit ke sekolah Nora merupakan hal yang aneh. Juga Jules yang walaupun sering nongkrong bersama Elliot, Nora, dan Vee, namun selalu menghilang saat ada Patch. Apalagi teror dari pria bertopeng ski yang dialami Nora, yang malah mencelakai Vee saat menyamar menjadi dirinya. Selain itu, masalah bertambah dengan munculnya miss Dabria Greene sebagai pengganti psikolog sekolah yang selalu mewanti-wanti Nora untuk menjauhi Patch.
Cerita makin seru, saat Nora mengetahui rahasia terdalam Patch yang sebagai malaikat terbuang. Juga adanya sebuah artikel bahwa Elliot pernah terlibat suatu pembunuhan di sekolahnya yang lama. Selain itu, Nora harus menghadapi fakta bahwa ia memiliki tanda lahir yang sama dengan Jules. Fakta tersebut menyudutkannya untuk harus mengorbankan diri agar Patch dapat menjadi manusia. Atau ada pilihan lain? Siapakah Jules sebenarnya? Akankah Nora mati dan Patch menjadi manusia? Tanpa disadari, saat membacanya kita akan tenggelam dalam kepingan-kepingan puzzle yang akan mulai tersusun di tengah-tengah cerita.