RSS

[UTS Feature] Jurnalis Televisi vs Jurnalis Cetak


Kesan berantakan dan “semau gue” seakan lekat dengan wartawan cetak, sedangkan rapi dan good looking, pasti wartawan televisi. Yakin pendapat dan asosiasi kita selama ini bener?

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 4



Di saat wartawan kontributor harus berjuang sendiri untuk memperoleh berita, lain halnya dengan wartawan organik. Selain menyediakan kendaraan beserta supir saat bertugas, ternyata mereka juga diberikan fasilitas-fasilitas lain.
Seperti yang tadi dijelaskan, fisik seorang presenter atau reporter dituntut untuk bisa selalu tampil good looking di kamera. Padahal, saat bertugas di lapangan, reporter banyak diterpa debu dan panas yang membuat penampilan kurang menarik. Maka, hal itu harus disiasati dengan melakukan perawatan di klinik kecantikan atau salon.
“Kalau di tempat saya, kami sudah disediakan voucher untuk perawatan untuk di sebuah klinik kecantikan. Nah ini biasanya untuk TV-TV yang lain juga biasanya memberikan sebuah fasilitas gratis gym untuk menambahkan performa mereka agar mereka sehat, selain perawatan secara fisik ya secara muka mereka agar ya karena memang tidak menampik ketika di TV yang dilihat pertama adalah muka. Nah, di situ mereka harus menjaga dan merawat,” ungkap Jonathan, reporter televisi.
Dengan kata lain, para presenter dan reporter yang tampil di televisi memang telah disiapkan untuk selalu tampak good looking di kamera. Selain menuai ketenaran di mata masyarakat, jurnalis televisi ini juga mendapat perawatan gratis dan cuma-cuma.
Wow, kok jadi semacam enak gitu ya hidupya? Mau donk kalau gitu, jadi jurnalis televisi :3

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 3


Tampil di depan TV dan jalan-jalan, mungkin menjadi pikiran pertama yang terlintas saat mendengar kata jurnalis televisi. Padahal, faktanya tak seperti itu. Dalam hal ini, tak semua yang membawakan berita di layar kaca disebut jurnalis televisi. Jurnalis televisi dibagi menjadi dua, yakni jurnalis (wartawan) kontributor dan jurnalis organik.
Wartawan kontributor biasanya tiap 1 kabupaten / kota ada 1 kontributor ditempatkan. Dia bertugas dengan kendaraannya pribadi, mengambil gambar dengan handycam, membuat naskah sendiri, dan dikirim ke server pusat untuk diolah beritanya. Kemudian dia baru mendapat upah dari setiap berita yang berhasil ditayangkan.
Sedangkan wartawan organik, ditugaskan oleh koordinator liputan untuk meliput berita tertentu. Dia diberi fasilitas menggunakan mobil beserta satu driver dan seorang cameraman. Di sana, ia memikirkan cara mengolah, mengambil data, dan mengeksplor peristiwa yang ditugaskan tadi. Materi gambar nantinya diberikan oleh cameramen dengan melalui pengarahan atau permintaan dari wartawan ini.
Selain itu, ada pula pembawa berita yang hanya membacakan berita yang telah dicari oleh jurnalis. Dia tidak diwajibkan untuk mencari berita yang akan disiarkan di televisi. Pantas saja Fajrin, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair merasa ironi dengan jurnalis televisi. “Realitanya mereka itu secara ketenaran mereka juga nggak tenar, secara apresiasi karya mereka juga nggak terlalu dapet gitu lho. Orang lebih kenal sama presenter daripada jurnalisnya,” ucap Fajrin prihatin.
“Kalo kita lihat mungkin kasihan karena istilahnya presenter itu cuma modal muka, modal tampang aja mereka uda bayaran lebih dari jurnalis sendiri yang istilahnya mereka berkorban fisik, berkorban otak, sampe2 kalo misalnya dalam situasi perang mereka bisa2 korban taruhan sama nyawanya,” lanjut pria berkacamata ini. Sejak awal, dia memang membedakan antara pembawa berita dengan reporternya.
Di saat jurnalis berjuang mencari berita, si pembawa acara hanya menunggu untuk membacakan berita. Istilahnya, jurnalis yang nggak tersorot itu jadi invisible, nggak ada bau-baunya. Bahkan Gita Gowinda, presenter salah satu TV swasta mengiyakan statement ini.
Jika dipikirkan lagi, memang sepertinya dari segi ketenaran, jurnalis yang tak beruntung  tak bisa lebih dikenal masyarakat selayaknya news anchor. Pembawa berita lebih terlihat glamor dan sejahtera daripada jurnalis yang benar-benar mencari berita di belakang layar.

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 2


“Kalau nggak berparas good looking nggak boleh live,” ujar Luviana, mantan jurnalis TV swasta pada screening dokumenter di Universitas Airlangga (27/3). Benarkah demikian?
Sepertinya begitulah adanya. Pada lowongan pekerjaan sebagai jurnalis televisi yang tampil di layar kaca, selalu terdapat “berpenampilan menarik” sebagai syarat utama. Tapi mengapa good looking menjadi hal penting?
“Jurnalis TV selain harus memiliki kemampuan mengulas fokus beritanya, juga tentu akan lebih baik yang good looking supaya orang doyan berlama-lama ngikutin beritanya. Good looking itu penting tapi bukan segala-galanya,” ujar Pahit S. Narottama, selaku Wakil Pimpinan Redaksi surat kabar harian Kalteng Pos.
Hal serupa juga diceploskan oleh Tammi, jurnalis Deteksi Jawa Pos. “Soalnya TV itu kan audio visual, harus ada nilai jual tersendiri untuk bikin penonton stay tune sama berita itu. Aku sendiri, kalo reporternya nggak oke-oke banget gitu males liatnya. Hahaha… Itu menurutku pribadi sih mbak. Kalo orang lain mungkin yang nggak harus good looking nggak apa-apa, asal dia pinter. Kalo menurutku kudu (harus) dua-duanya, good looking dan juga pinter nyampein berita. Kalo good looking  tapi ‘aa…ee…aa…ee..’ pas nyampein berita ya tetep males diliatnya.”
Ya, good looking itu penting namun tetap harus cerdas dan berpengetahuan luas. Jika tidak memiliki kedua hal tersebut, tentunya sang jurnalis akan mempermalukan dirinya sendiri karena hal tersebut akan nampak di televisi.
“Saya harus menggali banyak ilmu, saya harus belajar banyak buku, referensi. Ketika dialog saya harus membawakan topik2 yg sebenarnya saya tidak mengerti. Saya harus tahu setidaknya dan mengerti dasar2 dari materi apa yang akan saya bawakan dalam dialog tersebut,” ungkap Jonathan, selaku jurnalis televisi di Metro TV.
Intinya, jurnalis televisi haruslah memiliki paket komplit. Dia memiliki perawakan yang bagus dan menarik, serta pengetahuan yang luas. Tentunya hal tersebut akan membutuhkan usaha ekstra bagi mereka yang ingin menjadi jurnalis televisi.
So, masih menganggap jurnalis televisi hanya mengandalkan tampang?

[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 1



Jonathan saat Live Report
 Sebagaimana yang kita tahu, jurnalis televisi merupakan sosok yang sering muncul di di layar kaca untuk menyampaikan berita terkini. Namun, jurnalis televisi memiliki dunia gemerlap yang tak diketahui oleh masyarakat umumnya. Bukan, bukan dunia gemerlap alias dugem yang dimaksud. Juga bukan tentang jurnalis televisi yang suka dugem. Ini adalah dunia gemerlap dari perspektif yang lain.
Jonathan Pratama menjadi jurnalis salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia sejak April 2012. Meski terbilang baru setahun bekerja di sana, dia telah menimba banyak ilmu dan pengalaman. Mulai dari reporter yang meliput berita di tempat kejadian, menjadi news achor (pembawa berita), hingga menjadi reporter wisata.
Menurutnya, menjadi jurnalis televisi adalah suatu hal yang menyenangkan. “Ya saya suka bertemu dengan masyarakat langsung, saya bisa ngobrol langsung, kemudian saya bisa lebih dekat dengan mereka,” ungkapnya.
Selain itu, dalam pembuatan naskah jurnalistik televisi tidak boleh terlalu panjang, hanya sepanjang 2-3 menit untuk tiap berita. Hal inilah yang disukai oleh pria berumur 23 tahun ini, “Saya kurang cakap dalam menulis, tapi saya suka pada jurnalis televisi karena naskahnya hanya inti-intinya saja.”
Pria yang akrab disapa Jo ini, memiliki pengalaman tak terlupakan saat masih baru menjajaki dunia jurnalis televisi. Yaitu saat meliput penangkapan terduga teroris di Madiun. “Waktu itu saya belum siap untuk berangkat ke Madiun, saya juga masih baru saya sudah dihadapkan dengan kondisi yang menurut saya cukup seram. Di situ saya bisa mendapatkan banyak hal dan belajar ketika harus di rumah terduga teroris dengan ancaman2, ketakutan, kemudian bisa aja ada ranjau dimana2. Disitulah itu menjadi tantangan buat saya tapi sangat meyenangkan,” kisahnya sambil mengenang masa awal-awal bekerja.
Tak sampai di situ saja pengalaman yang didapatkan oleh Jo. Pada peristiwa jatuhnya Lion Air di Bali beberpa waktu lalu, dia ikut terbang meliput ke pulau Dewata tesebut. “Itu sangat menarik, ada orang baru, pejabat-pejabat di Bali, kenalan dengan wartawan-wartawan yang ada di Bali, tahu tempat-tempat yang ada di Bali. Dan pengalaman me-livereport-kan dari tempat yang… dari Bali, itulah sungguh menyenangkan.” Dengan menjadi jurnalis televisi, Jo dapat ikut ambil bagian keluar kota sekaligus jalan-jalan sebentar.
Hm…tampaknya, menjadi jurnalis televisi memang menyenangkan ya?

[UTS Audio] Realitas Jurnalis Televisi

Jurnalis televisi merupakan profesi yang tak asing bagi masyarakat, terutama mahasiswa dan jurnalis sendiri.
Bagaimana jurnalis televisi di mata mahasiswa ilmu komunikasi dan jurnalis media cetak?
Apa tanggapan jurnalis televisi terhadap keharusan untuk menjadi good looking?
Juga, bagaimana cara para jurnalis Televisi untuk agar selalu tampil maksimal?
Mari dengarkan wawancara dengan Enggy, Fajrin, dan Tammi sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Airlangga; Pahit S. Narottama sebagai jurnalis media cetak di Kalteng (Kalimantan Tengah) Pos, dan Jonathan Pratama yang berprofesi sebagai jurnalis televisi di Metro TV.
Selamat mendengarkan :)

http://soundcloud.com/lona-sastro/jurnalis-tv-dan-realita


[UTS Galeri Foto] Jurnalis Televisi, Cetak, Radio: Beda tapi Sama

Jurnalis televisi sering lebih dikenal masyarakat daripada jurnalis cetak dan lainnya. Padahal apa yang mereka lakukan dapat dibilang sama, hanya berbeda media broadcast-nya saja.


Televisi: Jonathan Pratama dalam Acara Traveller

Televisi: Gabriela Lordy dalam Acara Wisata Jelajah Kutho


Televisi: Jonathan Pratama Menjadi News Anchor Metro TV

Televisi: Gita Gowinda Memandu Acara Pojok7 di JTV


Televisi: Jonathan Pratama Saat Live Report


Radio: Gita Gowinda Saat Siaran

Cetak: Ketika Pahit S. Narottama Liputan di Bangkok

Cetak: Pahit S Narottama Mengerjakan Naskah Berita



Jurnalis sedang Mewawancarai Narasumber
Jurnalis dari Berbagai Media Meliput IEMC 2012

Sumber foto merupakan koleksi pribadi dari:
Pahit S. Narottama, S.Hut. Jurnalis SKH Kalteng Pos, Jawa Pos Group (profil)
Jonathan Pratama, S.H. Reporter Metro TV (profil)

Gita Gowinda. Presenter JTV,  Penyiar EBS (profil)
Renaldy Rio. Fotografer (profil)
Chrisnata Gita. Fotografer (profil)
Gabriela Lordy. Reporter acara Jelajah Kutho (profil)

[UTS Opini] Nggak Good Looking? Jangan Jadi Jurnalis Televisi Deh!


“Jadi reporter (jurnalis) wisata televisi kayaknya asyik deh! Soalnya bisa jalan-jalan, menjelajahi tempat-tempat eksotis yang belum pernah kita jamah.” Mungkin itulah yang bakal terlintas di kepala kita. Apalagi waktu melihat para reporter wisata kuliner mencicipi makanan-makanan yang unik dan maknyus, bisa-bisa langsung ngiler.
Tapi gimana kalau mendengar kata reporter televisi tanpa embel-embel wisata? Reporter televisi yang meliput berita, apa sih yang terlintas dalam pikiran kalian? “Seru” kah? “Ogah ah, capek”? Berbagai pendapat lain mungkin terlintas di kepala kita. Bahkan bisa aja timbul rasa iri bagi kita yang doyan jadi pusat perhatian.
Well, di balik semua pikiran-pikiran kita tentang jurnalis televisi itu, sadar nggak sih kalo mereka nggak ada yang jelek? Iya, nggak jelek. Perhatiin deh, pasti mereka minimal good looking atau enak dipandang lah.
Sepertinya tuntutan jurnalis televisi untuk memiliki penampilan good looking, telah menjadi salah satu syarat utama untuk bisa menjadi jurnalis TV. Tidak bisa dipungkiri, televisi memang mengandalkan adanya tampilan visual yang lebih apik meski tidak melupakan kualitas suara.
Bayangkan saja, jika yang ditampilkan TV bukanlah orang yang sedap dipandang, akankah audience-nya akan betah berlama-lama menyaksikan siaran? Tentu tidak. Kecuali jurnalis itu pandai melawak, namun saat menyampaikan berita tidak butuh lawakan bukan?
Anyway, dalam KBBI, jurnalis ialah orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar, dsb. Jadi, seharusnya syarat menjadi jurnalis yaitu memiliki semangat yang tinggi, keingintahuan yang besar, dan otak yang cemerlang. Namun yang perlu ditekankan di sini ialah tugas para jurnalis itu sama, yaitu mengumpulkan berita meskipun medianya berbeda.
Jurnalis cetak dan media selain televisi, yang bertampang pas-pasan, mungkin lebih beruntung karena tidak dituntut untuk bisa “menyenangkan” mata audience-nya. Namun mereka tentu harus selalu berpenampilan rapi untuk merepresentasikan medianya di depan narasumber. Sedangkan jurnalis televisi yang tidak good looking harus bisa puas berada di belakang layar melihat beritanya dibawakan oleh pembaca berita.
Lalu, apakah good looking akan menjamin seseorang dapat menjadi jurnalis televisi? Seharusnya tidak, good looking tanpa pengetahuan yang luas tentu tidak akan menjadi jurnalis televisi yang handal. Sebaliknya, otak cemerlang tanpa didukung penampilan yang cameraface sering tidak mendapat apresiasi layak sebagai jurnalis televisi.
Namun, ini bukanlah akhir segalanya, masih banyak jalan ke Roma. Bukan berarti seseorang yang good looking lantas diapresiasi berlebih dan yang bertampang pas-pasan tidak memiliki kesempatan. Ingat, sebagai seorang jurnalis dalam media apapun haruslah berpengetahuan luas agar tidak nampak bodoh dan memalukan. Pintar-pintarnya kita saja dalam memanfaatkan fasilitas dan teknologi yang tersedia.
So, masih ingin jadi jurnalis televisi?