Kesan berantakan
dan “semau gue” seakan lekat dengan wartawan cetak, sedangkan rapi dan good looking, pasti wartawan televisi. Yakin pendapat dan asosiasi kita selama ini bener?
[UTS Feature] Jurnalis Televisi vs Jurnalis Cetak
Wrote by
Lona Sastro
on Friday, April 26, 2013
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 4
Wrote by
Lona Sastro
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
Di saat wartawan
kontributor harus berjuang sendiri untuk memperoleh berita, lain halnya dengan
wartawan organik. Selain menyediakan kendaraan beserta supir saat bertugas,
ternyata mereka juga diberikan fasilitas-fasilitas lain.
Seperti yang
tadi dijelaskan, fisik seorang presenter atau reporter dituntut untuk bisa
selalu tampil good looking di kamera.
Padahal, saat bertugas di lapangan, reporter banyak diterpa debu dan panas yang
membuat penampilan kurang menarik. Maka, hal itu harus disiasati dengan melakukan
perawatan di klinik kecantikan atau salon.
“Kalau di tempat
saya, kami sudah disediakan voucher untuk perawatan untuk di sebuah klinik
kecantikan. Nah ini biasanya untuk TV-TV yang lain juga biasanya memberikan
sebuah fasilitas gratis gym untuk
menambahkan performa mereka agar mereka sehat, selain perawatan secara fisik ya
secara muka mereka agar ya karena memang tidak menampik ketika di TV yang
dilihat pertama adalah muka. Nah, di situ mereka harus menjaga dan merawat,”
ungkap Jonathan, reporter televisi.
Dengan kata
lain, para presenter dan reporter yang tampil di televisi memang telah
disiapkan untuk selalu tampak good
looking di kamera. Selain menuai ketenaran di mata masyarakat, jurnalis
televisi ini juga mendapat perawatan gratis dan cuma-cuma.
Wow, kok jadi
semacam enak gitu ya hidupya? Mau donk kalau gitu, jadi jurnalis televisi :3
[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 3
Wrote by
Lona Sastro
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
Tampil di depan
TV dan jalan-jalan, mungkin menjadi pikiran pertama yang terlintas saat
mendengar kata jurnalis televisi. Padahal, faktanya tak seperti itu. Dalam hal
ini, tak semua yang membawakan berita di layar kaca disebut jurnalis televisi. Jurnalis
televisi dibagi menjadi dua, yakni jurnalis (wartawan) kontributor dan jurnalis
organik.
Wartawan
kontributor biasanya tiap 1 kabupaten / kota ada 1 kontributor ditempatkan. Dia
bertugas dengan kendaraannya pribadi, mengambil gambar dengan handycam, membuat
naskah sendiri, dan dikirim ke server pusat untuk diolah beritanya. Kemudian dia
baru mendapat upah dari setiap berita yang berhasil ditayangkan.
Sedangkan
wartawan organik, ditugaskan oleh koordinator liputan untuk meliput berita
tertentu. Dia diberi fasilitas menggunakan mobil beserta satu driver dan seorang cameraman. Di sana, ia memikirkan cara mengolah, mengambil data,
dan mengeksplor peristiwa yang ditugaskan tadi. Materi gambar nantinya
diberikan oleh cameramen dengan melalui pengarahan atau permintaan dari
wartawan ini.
Selain itu, ada
pula pembawa berita yang hanya membacakan berita yang telah dicari oleh
jurnalis. Dia tidak diwajibkan untuk mencari berita yang akan disiarkan di
televisi. Pantas saja Fajrin, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair merasa ironi
dengan jurnalis televisi. “Realitanya mereka itu secara ketenaran mereka juga
nggak tenar, secara apresiasi karya mereka juga nggak terlalu dapet gitu lho. Orang
lebih kenal sama presenter daripada jurnalisnya,” ucap Fajrin prihatin.
“Kalo kita lihat
mungkin kasihan karena istilahnya presenter itu cuma modal muka, modal tampang
aja mereka uda bayaran lebih dari jurnalis sendiri yang istilahnya mereka
berkorban fisik, berkorban otak, sampe2 kalo misalnya dalam situasi perang mereka
bisa2 korban taruhan sama nyawanya,” lanjut pria berkacamata ini. Sejak awal, dia
memang membedakan antara pembawa berita dengan reporternya.
Di saat jurnalis
berjuang mencari berita, si pembawa acara hanya menunggu untuk membacakan berita.
Istilahnya, jurnalis yang nggak tersorot itu jadi invisible, nggak ada bau-baunya. Bahkan Gita Gowinda, presenter salah
satu TV swasta mengiyakan statement ini.
Jika dipikirkan
lagi, memang sepertinya dari segi ketenaran, jurnalis yang tak beruntung tak bisa lebih dikenal masyarakat selayaknya news anchor. Pembawa berita lebih
terlihat glamor dan sejahtera daripada jurnalis yang benar-benar mencari berita
di belakang layar.
Photo by: Prima Kirtti Utomo Yusuf
[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 2
Wrote by
Lona Sastro
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
“Kalau nggak
berparas good looking nggak boleh live,” ujar Luviana, mantan jurnalis TV
swasta pada screening dokumenter di
Universitas Airlangga (27/3). Benarkah demikian?
Sepertinya
begitulah adanya. Pada lowongan pekerjaan sebagai jurnalis televisi yang tampil
di layar kaca, selalu terdapat “berpenampilan menarik” sebagai syarat utama.
Tapi mengapa good looking menjadi hal
penting?
“Jurnalis TV
selain harus memiliki kemampuan mengulas fokus beritanya, juga tentu akan lebih
baik yang good looking supaya orang
doyan berlama-lama ngikutin beritanya. Good
looking itu penting tapi bukan segala-galanya,” ujar Pahit S. Narottama,
selaku Wakil Pimpinan Redaksi surat kabar harian Kalteng Pos.
Hal serupa juga
diceploskan oleh Tammi, jurnalis Deteksi Jawa Pos. “Soalnya TV itu kan audio
visual, harus ada nilai jual tersendiri untuk bikin penonton stay tune sama berita itu. Aku sendiri,
kalo reporternya nggak oke-oke banget gitu males liatnya. Hahaha… Itu menurutku
pribadi sih mbak. Kalo orang lain mungkin yang nggak harus good looking nggak apa-apa, asal dia pinter. Kalo menurutku kudu (harus) dua-duanya, good looking dan juga pinter nyampein
berita. Kalo good looking tapi ‘aa…ee…aa…ee..’ pas nyampein berita ya
tetep males diliatnya.”
Ya, good looking itu penting namun tetap
harus cerdas dan berpengetahuan luas. Jika tidak memiliki kedua hal tersebut,
tentunya sang jurnalis akan mempermalukan dirinya sendiri karena hal tersebut
akan nampak di televisi.
“Saya harus
menggali banyak ilmu, saya harus belajar banyak buku, referensi. Ketika dialog
saya harus membawakan topik2 yg sebenarnya saya tidak mengerti. Saya harus tahu
setidaknya dan mengerti dasar2 dari materi apa yang akan saya bawakan dalam
dialog tersebut,” ungkap Jonathan, selaku jurnalis televisi di Metro TV.
Intinya, jurnalis
televisi haruslah memiliki paket komplit. Dia memiliki perawakan yang bagus dan
menarik, serta pengetahuan yang luas. Tentunya hal tersebut akan membutuhkan usaha
ekstra bagi mereka yang ingin menjadi jurnalis televisi.
So, masih menganggap jurnalis televisi
hanya mengandalkan tampang?
[UTS Feature] Dunia Gemerlap Jurnalis Televisi 1
Wrote by
Lona Sastro
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
Jonathan saat Live Report |
Sebagaimana yang
kita tahu, jurnalis televisi merupakan sosok yang sering muncul di di layar
kaca untuk menyampaikan berita terkini. Namun, jurnalis televisi memiliki dunia
gemerlap yang tak diketahui oleh masyarakat umumnya. Bukan, bukan dunia
gemerlap alias dugem yang dimaksud. Juga bukan tentang jurnalis televisi yang
suka dugem. Ini adalah dunia gemerlap dari perspektif yang lain.
Jonathan Pratama
menjadi jurnalis salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia sejak April
2012. Meski terbilang baru setahun bekerja di sana, dia telah menimba banyak
ilmu dan pengalaman. Mulai dari reporter yang meliput berita di tempat
kejadian, menjadi news achor (pembawa
berita), hingga menjadi reporter wisata.
Menurutnya,
menjadi jurnalis televisi adalah suatu hal yang menyenangkan. “Ya saya suka
bertemu dengan masyarakat langsung, saya bisa ngobrol langsung, kemudian saya
bisa lebih dekat dengan mereka,” ungkapnya.
Selain itu, dalam
pembuatan naskah jurnalistik televisi tidak boleh terlalu panjang, hanya sepanjang
2-3 menit untuk tiap berita. Hal inilah yang disukai oleh pria berumur 23 tahun
ini, “Saya kurang cakap dalam menulis, tapi saya suka pada jurnalis televisi
karena naskahnya hanya inti-intinya saja.”
Pria yang akrab
disapa Jo ini, memiliki pengalaman tak terlupakan saat masih baru menjajaki
dunia jurnalis televisi. Yaitu saat meliput penangkapan terduga teroris di
Madiun. “Waktu itu saya belum siap untuk berangkat ke Madiun, saya juga masih
baru saya sudah dihadapkan dengan kondisi yang menurut saya cukup seram. Di
situ saya bisa mendapatkan banyak hal dan belajar ketika harus di rumah terduga
teroris dengan ancaman2, ketakutan, kemudian bisa aja ada ranjau dimana2. Disitulah
itu menjadi tantangan buat saya tapi sangat meyenangkan,” kisahnya sambil mengenang
masa awal-awal bekerja.
Tak sampai di
situ saja pengalaman yang didapatkan oleh Jo. Pada peristiwa jatuhnya Lion Air
di Bali beberpa waktu lalu, dia ikut terbang meliput ke pulau Dewata tesebut. “Itu
sangat menarik, ada orang baru, pejabat-pejabat di Bali, kenalan dengan wartawan-wartawan
yang ada di Bali, tahu tempat-tempat yang ada di Bali. Dan pengalaman me-livereport-kan dari tempat yang… dari
Bali, itulah sungguh menyenangkan.” Dengan menjadi jurnalis televisi, Jo dapat
ikut ambil bagian keluar kota sekaligus jalan-jalan sebentar.
Hm…tampaknya,
menjadi jurnalis televisi memang menyenangkan ya?
[UTS Audio] Realitas Jurnalis Televisi
Wrote by
Lona Sastro
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
Jurnalis televisi merupakan profesi yang tak asing bagi masyarakat, terutama mahasiswa dan jurnalis sendiri.
Bagaimana jurnalis televisi di mata mahasiswa ilmu komunikasi dan jurnalis media cetak?
Apa tanggapan jurnalis televisi terhadap keharusan untuk menjadi good looking?
Juga, bagaimana cara para jurnalis Televisi untuk agar selalu tampil maksimal?
Mari dengarkan wawancara dengan Enggy, Fajrin, dan Tammi sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Airlangga; Pahit S. Narottama sebagai jurnalis media cetak di Kalteng (Kalimantan Tengah) Pos, dan Jonathan Pratama yang berprofesi sebagai jurnalis televisi di Metro TV.
Selamat mendengarkan :)
http://soundcloud.com/lona-sastro/jurnalis-tv-dan-realita
Bagaimana jurnalis televisi di mata mahasiswa ilmu komunikasi dan jurnalis media cetak?
Apa tanggapan jurnalis televisi terhadap keharusan untuk menjadi good looking?
Juga, bagaimana cara para jurnalis Televisi untuk agar selalu tampil maksimal?
Mari dengarkan wawancara dengan Enggy, Fajrin, dan Tammi sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Airlangga; Pahit S. Narottama sebagai jurnalis media cetak di Kalteng (Kalimantan Tengah) Pos, dan Jonathan Pratama yang berprofesi sebagai jurnalis televisi di Metro TV.
Selamat mendengarkan :)
http://soundcloud.com/lona-sastro/jurnalis-tv-dan-realita
[UTS Galeri Foto] Jurnalis Televisi, Cetak, Radio: Beda tapi Sama
Wrote by
Lona Sastro
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah
/
Comments: (0)
Jurnalis televisi sering lebih dikenal masyarakat daripada jurnalis cetak dan lainnya. Padahal apa yang mereka lakukan dapat dibilang sama, hanya berbeda media broadcast-nya saja.
Televisi: Jonathan Pratama dalam Acara Traveller |
Televisi: Gabriela Lordy dalam Acara Wisata Jelajah Kutho |
Televisi: Jonathan Pratama Menjadi News Anchor Metro TV |
Televisi: Gita Gowinda Memandu Acara Pojok7 di JTV |
Televisi: Jonathan Pratama Saat Live Report |
Radio: Gita Gowinda Saat Siaran |
Cetak: Ketika Pahit S. Narottama Liputan di Bangkok |
Cetak: Pahit S Narottama Mengerjakan Naskah Berita |
Jurnalis sedang Mewawancarai Narasumber |
Jurnalis dari Berbagai Media Meliput IEMC 2012 |
Sumber foto merupakan koleksi pribadi dari:
Pahit S. Narottama, S.Hut. Jurnalis SKH Kalteng Pos, Jawa Pos Group (profil)
Jonathan Pratama, S.H. Reporter Metro TV (profil)
Gita Gowinda. Presenter JTV, Penyiar EBS (profil)
Renaldy Rio. Fotografer (profil)
Chrisnata Gita. Fotografer (profil)
Gabriela Lordy. Reporter acara Jelajah Kutho (profil)
[UTS Opini] Nggak Good Looking? Jangan Jadi Jurnalis Televisi Deh!
Wrote by
Lona Sastro
on Thursday, April 25, 2013
Labels:
Jurnalistik Online,
Kuliah,
Unair
/
Comments: (1)
“Jadi reporter
(jurnalis) wisata televisi kayaknya asyik deh! Soalnya bisa jalan-jalan,
menjelajahi tempat-tempat eksotis yang belum pernah kita jamah.” Mungkin itulah
yang bakal terlintas di kepala kita. Apalagi waktu melihat para reporter wisata
kuliner mencicipi makanan-makanan yang unik dan maknyus, bisa-bisa langsung ngiler.
Tapi gimana
kalau mendengar kata reporter televisi tanpa embel-embel wisata? Reporter televisi
yang meliput berita, apa sih yang terlintas dalam pikiran kalian? “Seru” kah? “Ogah ah, capek”? Berbagai pendapat lain mungkin
terlintas di kepala kita. Bahkan bisa aja timbul rasa iri bagi kita yang doyan jadi pusat perhatian.
Well, di balik semua pikiran-pikiran
kita tentang jurnalis televisi itu, sadar nggak sih kalo mereka nggak ada yang
jelek? Iya, nggak jelek. Perhatiin deh, pasti mereka minimal good looking atau enak dipandang lah.
Sepertinya
tuntutan jurnalis televisi untuk memiliki penampilan good looking, telah menjadi salah satu syarat utama untuk bisa
menjadi jurnalis TV. Tidak bisa dipungkiri, televisi memang mengandalkan adanya
tampilan visual yang lebih apik meski
tidak melupakan kualitas suara.
Bayangkan saja, jika
yang ditampilkan TV bukanlah orang yang sedap dipandang, akankah audience-nya akan betah berlama-lama
menyaksikan siaran? Tentu tidak. Kecuali jurnalis itu pandai melawak, namun
saat menyampaikan berita tidak butuh lawakan bukan?
Anyway, dalam KBBI, jurnalis ialah orang
yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar, dsb. Jadi,
seharusnya syarat menjadi jurnalis yaitu memiliki semangat yang tinggi,
keingintahuan yang besar, dan otak yang cemerlang. Namun yang perlu ditekankan
di sini ialah tugas para jurnalis itu sama, yaitu mengumpulkan berita meskipun medianya
berbeda.
Jurnalis cetak
dan media selain televisi, yang bertampang pas-pasan, mungkin lebih beruntung
karena tidak dituntut untuk bisa “menyenangkan” mata audience-nya. Namun mereka tentu harus selalu berpenampilan rapi
untuk merepresentasikan medianya di depan narasumber. Sedangkan jurnalis
televisi yang tidak good looking
harus bisa puas berada di belakang layar melihat beritanya dibawakan oleh pembaca
berita.
Lalu, apakah good looking akan menjamin seseorang
dapat menjadi jurnalis televisi? Seharusnya tidak, good looking tanpa pengetahuan yang luas tentu tidak akan menjadi
jurnalis televisi yang handal. Sebaliknya, otak cemerlang tanpa didukung penampilan
yang cameraface sering tidak mendapat
apresiasi layak sebagai jurnalis televisi.
Namun, ini
bukanlah akhir segalanya, masih banyak jalan ke Roma. Bukan berarti seseorang
yang good looking lantas diapresiasi
berlebih dan yang bertampang pas-pasan tidak memiliki kesempatan. Ingat, sebagai
seorang jurnalis dalam media apapun haruslah berpengetahuan luas agar tidak nampak
bodoh dan memalukan. Pintar-pintarnya kita saja dalam memanfaatkan fasilitas
dan teknologi yang tersedia.
So, masih ingin jadi jurnalis televisi?